Kamis, 09 Februari 2017

Kapan nikah? Udah punya anak belum?

Kapan?
Pertanyaan yang seringkali jadi pembuka pembicaraan ketika sudah lama tidak bertemu. Kadang maksudnya basa-basi atau benar-benar penasaran alias kepo. Atau karena kehabisan bahan pembicaraan. Wallahu a’lam ga ada yang benar-benar tahu niatnya apa kecuali si komunikator yang bertanya dan Tuhan yang maha kuasa.
Kapan kawin?
Kapan Punya anak?
Atau dalam bentuk yang lain,
Mana nih gandengannya? (red: truk gandeng kali yee)
Udah berapa anaknya?

Atau banyak lagi pertanyaan dengan modifikasi namun intinya mah sama. Yang menarik dari pertanyaan ini, tujuan si komunikator (penanya) tak selalu ditanggapi positif oleh si komunikan (yang ditanya). Kenapa? Karena pertanyaan ini sangat pribadi sebetulnya. Namun entah kenapa, Indonesia yang katanya Negara paling ramah, sering sekali masyarakatnya menggunakan percakapan semacam ini, alih alih hanya untuk basa-basi atau akrabisasi (baca: akrab-akraban bukan arabisasi ya hehe).

Oke, sekarang kita bahas dulu dari sisi KOMUNIKATOR (si penanya)
Pasti diantara kita sudah pernah dong jadi komunikator jenis ini. Ayoo ngaku! Tuh kaaaan, bener kan! Disadari atau tidak, kita pernah secara sengaja atau tidak, menjadi manusia yang melakukan ini.
Tujuannya apa sih?

1   1.  Membuat suasana jadi akrab
2    2.    Basa-basi
3     3.   Kepo (pengen tahu banget)
4     4.   Kehabisan bahan pembicaraan, dll 

dari list tujuan pertanyaan tersebut diajukan, sebetulnya kita bisa melihat bahwa alasan dan tujuan dari pertanyaan tersebut dilontarkan, sama sekali ga negatif kan?! Tapi kenapa hasilnya kadang malah sangat bertolak belakang dengan tujuan kita? Tahu kenapa? Karena kita sebagai komunikator lupa, bahwa ada perasaan yang bermain disetiap komunikasi yang kita lakukan. Kita lupa memikirkan faktor emosi dari sang lawan bicara. Apakah ia akan tersinggung dengan yang kita katakanan ataukah ia malah senang.

Masih ingat bagaimana Rosulullah berpesan pada kita, Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)Sumber: https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html
Kalau merujuk pada hadits ini, tentunya ketika kita memerhatikan apakah emosi lawan bicara (komunikan) kita akan terganggu, tersinggung, dsb , kita akan memilih untuk tidak bertanya dan mencari bahan pembicaraan lainnya. Dan percayalah kalaupun teman kita sudah menikah, sudah punya anak, ia pasti akan menceritakan pada kita. Tak perlu kita tanya, ia akan menceritakan hal apapun yang ia rasa layak dan pantas untuk di-sharing pada kita.
Jika ia tidak menceritakannya, berarti ada dua kemungkinan ia memang belum menikah atau belum punya anak atau ia merasa hal pribadi tidak perlu diceritakan pada kita. Simple kan! Jadi, sudah tahu toh apa yang sebaiknya dilakukan?
Sekarang, dari sisi KOMUNIKAN (yang ditanya)
Sebagai orang yang pengalaman bertanya dan juga ditanya soal hal semacam ini, saya ceritakan dulu ya bagaimana rasanya ketika pertanyaan ini dilontarkan dan hati saya sedang tidak siap menjawabnya.
Saya pernah dalam posisi ditanya hal seperti ini, kemudian menanggapi dengan santai, pernah juga agak kesel dan yang lebih parah pernah sampai nangis ditempat lain (baca : ya ga mungkin kan gw nangis didepan orang yang nanyain soal ini, tengsin lah).
Dulu, ketika pernikahan saya masih umur 1 dan 2 tahun pertama, pertanyaan begini rasanya biasa saja. Kemudian ketika memasuki tahun ketiga saat teman-teman saya sudah beranak pinak, tak cuma 1 tapi ada yang sudah 2 atau 3, itu mulai membuat saya rada gimana gitu jika mendengar pertanyaan semacam ini. Ada perasaan nyeri hate (red: kata orang sunda mah). Lantas kemudian, apa yang biasanya saya lakukan? Ya saya jawab sekenanya, “doain aja yah!” sambil dalam hati gerundel (baca : membatin). Apalagi kalo pertanyaannya begini nih,
Di acara arisan keluarga suami, (karena emang selalu di sini sih ada tamu usil yang nanyain hal begini)
“Ini istrinya hekal yah?”
“Iya bu”
“Gimana anaknya sudah berapa? “
“Belum punya anak bu!” (posisi saya lagi ngasuh ponakan)
“Udah berapa tahun?”
“3 tahun bu” (saya sangat berharap, pertanyaan berhenti sampai sini)
“ya ampuun lama juga ya, 3 tahun belom punya anak”

Hmm…ketika itu, hati saya 3 tahun yang lalu, perasaan saya hancur banget. Sampai saya ingat betul wajah dan ekspresi  si ibu ini, padahal ketemunya juga nggak setahun sekali loh. Segitunya saya karena mungkin saat itu memang saya sedang tidak siap menghadapi pertanyaan semacam ini. Mungkin kalau percakapannya berhenti sampai jawaban saya “belum punya anak!” dan beliau stop dengan mendoakan saya. Saya nggak akan berasa hancur banget. Tapi karena ia malah membahas lebih lanjut, saya jadi makin nyeri hate. Ini 3 tahun lalu yah, sekarang sih pas nulis ini, udah ga berasa apa-apa lagi, bahkan sedih pun nggak sama sekali, karena sudah di hypnotheraphy. Tuh kan? Jangan kira efeknya ga parah loh, saya baru ilang luka hatinya setelah di hypnotheraphy.
Dari kejadian tersebut, saya jadi mikir, gimana ya perasaan orang-orang yang nasibnya sama seperti saya? Bagaimana perasaan orang yang belum menemukan jodohnya dan ditanyain hal-hal “kapan…” seperti itu. Mulai terbayang deh mungkin mereka nyeri hate juga.
Lantas, gimana dong cara kita menghadapi pertanyaan semacam itu?
Ini tips dari saya:
1.   1.    Siapkan jawaban yang ciamik dan cantik serta alihkan ke pembicaraan lain atau jika orang yang bertanya tidak terlalu akrab sebaiknya kita tinggal saja (cari alasan mau melakukan kegiatan lain, ambil makanan misalnya)
Contohnya begini :
“belum punya anak nih, doain dong biar cepet terkabul, mungkin doa kamu didengar Allah”
Dengan jawaban begini, harusnya dia langsung cepet doain, kalau ia masih mencoba mengorek informasi yang sama, cari alasan aja, ga usah diperpanjang obrolan macam ini. Tidak ada faedahnya hehe.

2.     2. Pastikan bahwa diri kita yakin pertanyaan tersebut dilontarkan atas dasar positif bukan dengan maksud menjatuhkan atau sengaja menyakiti kita. Jadi, ketika kita mulai baper (baca: bawa perasaan) kita bisa menepis dengan santai. 
3.   3.    Jika memang keburu nyeri hate dan dirasa butuh terapi, hubungi hypnotherapist deh sebab luka-luka kecil macam ini, akan jadi besar kalau didiamkan dan jadi penyakit (psikosomatis).
Untuk poin nomor tiga, itu memang yang terjadi pada saya sampai saya merasa harus di theraphy, karena memang keliatannya saya happy aja, bisa haha-hihi tapi ternyata terlalu banyak tumpukan nyeri hate akibat pertanyaan “Kapan-kapan…” yang kurang esensial itu. Akibatnya jadi bikin saya sakit.
Alhamdulillah, Allah kasih saya jalan untuk bisa bahagia dan tenang bahkan kalem aja sekarang ketika ditanya hal macam itu. Sekarang di tahun ke 6 dengan proses yang panjang serta sabar yang selalu harus dilatih terus-terusan.
Semoga, kita semua perempuan yang menginginkan segera diberi momongan, Allah ijabah dengan hadiah anak sholeh/sholehah yang rupawan. Dan buat teman yang belum menemukan imamnya, Allah berikan jalan untuk segera bertemu tambatan hatinya.
Aaamiin…
Cintai dirimu, cintai takdirmu

PS: oya, waktu itu saya terapi di www.abahabror.com boleh coba klik link nya aja jika butuh hypnotherapy, ga cuma soalan macam problem seperti saya loh, problem yang lebih berat juga bisa sembuh dengan ijin Allah. 

Selamat Datang

Assalamualaikum...

Selamat datang di blog ini, tempat di mana saya berbagi soal cerita hidup yang sayang jika hanya disimpan sendiri. Semoga kisah yang saya ceritakan bisa menjadi bahan renungan dan pelajaran. Yang terpenting dapat menambah kesyukuran (baca : terutama bagi saya pribadi).

Sebetulnya, saya sudah mulai nge-blog sejak 2009 di multipy, tapi sayang multiply telah gulung tikar dan tulisan saya banyak yang hilang. Semoga, blogspot bernasib lebih baik, hingga tulisan ini bisa dibaca sampai anak-cucu saya nanti lahir.

amiin ya rabbal a'lamiin