Kapan?
Pertanyaan
yang seringkali jadi pembuka pembicaraan ketika sudah lama tidak bertemu. Kadang
maksudnya basa-basi atau benar-benar penasaran alias kepo. Atau
karena kehabisan bahan pembicaraan. Wallahu a’lam ga ada yang
benar-benar tahu niatnya apa kecuali si komunikator yang bertanya dan Tuhan
yang maha kuasa.
Kapan
kawin?
Kapan
Punya anak?
Atau dalam
bentuk yang lain,
Mana nih
gandengannya? (red: truk gandeng kali yee)
Udah
berapa anaknya?
Atau banyak
lagi pertanyaan dengan modifikasi namun intinya mah sama. Yang menarik
dari pertanyaan ini, tujuan si komunikator (penanya) tak selalu ditanggapi
positif oleh si komunikan (yang ditanya). Kenapa? Karena pertanyaan ini sangat
pribadi sebetulnya. Namun entah kenapa, Indonesia yang katanya Negara paling
ramah, sering sekali masyarakatnya menggunakan percakapan semacam ini, alih
alih hanya untuk basa-basi atau akrabisasi (baca: akrab-akraban bukan arabisasi
ya hehe).
Oke, sekarang
kita bahas dulu dari sisi KOMUNIKATOR (si penanya)
Pasti
diantara kita sudah pernah dong jadi komunikator jenis ini. Ayoo ngaku! Tuh kaaaan,
bener kan! Disadari atau tidak, kita pernah secara sengaja atau tidak, menjadi
manusia yang melakukan ini.
Tujuannya
apa sih?
1 1. Membuat suasana
jadi akrab
2 2. Basa-basi
3 3. Kepo (pengen
tahu banget)
4 4. Kehabisan bahan
pembicaraan, dll
dari list
tujuan pertanyaan tersebut diajukan, sebetulnya kita bisa melihat bahwa alasan
dan tujuan dari pertanyaan tersebut dilontarkan, sama sekali ga negatif kan?! Tapi
kenapa hasilnya kadang malah sangat bertolak belakang dengan tujuan kita? Tahu kenapa?
Karena kita sebagai komunikator lupa, bahwa ada perasaan yang bermain
disetiap komunikasi yang kita lakukan. Kita lupa memikirkan faktor emosi
dari sang lawan bicara. Apakah ia akan tersinggung dengan yang kita katakanan ataukah
ia malah senang.
Masih ingat
bagaimana Rosulullah berpesan pada kita, Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik
atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim,
no.47)Sumber: https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html
Kalau merujuk pada hadits ini, tentunya ketika kita memerhatikan apakah
emosi lawan bicara (komunikan) kita akan terganggu, tersinggung, dsb , kita
akan memilih untuk tidak bertanya dan mencari bahan pembicaraan lainnya. Dan percayalah kalaupun teman kita sudah menikah,
sudah punya anak, ia pasti akan menceritakan pada kita. Tak perlu kita tanya,
ia akan menceritakan hal apapun yang ia rasa layak dan pantas untuk di-sharing
pada kita.
Jika ia tidak menceritakannya, berarti ada dua
kemungkinan ia memang belum menikah atau belum punya anak atau ia merasa hal
pribadi tidak perlu diceritakan pada kita. Simple kan! Jadi, sudah tahu
toh apa yang sebaiknya dilakukan?
Sekarang, dari sisi KOMUNIKAN (yang
ditanya)
Sebagai orang yang pengalaman bertanya dan juga
ditanya soal hal semacam ini, saya ceritakan dulu ya bagaimana rasanya ketika
pertanyaan ini dilontarkan dan hati saya sedang tidak siap menjawabnya.
Saya pernah dalam posisi ditanya hal seperti ini,
kemudian menanggapi dengan santai, pernah juga agak kesel dan yang lebih parah
pernah sampai nangis ditempat lain (baca : ya ga mungkin kan gw nangis didepan
orang yang nanyain soal ini, tengsin lah).
Dulu, ketika pernikahan saya masih umur 1 dan 2 tahun
pertama, pertanyaan begini rasanya biasa saja. Kemudian ketika memasuki tahun
ketiga saat teman-teman saya sudah beranak pinak, tak cuma 1 tapi ada yang
sudah 2 atau 3, itu mulai membuat saya rada gimana gitu jika mendengar
pertanyaan semacam ini. Ada perasaan nyeri hate (red: kata orang sunda
mah). Lantas kemudian, apa yang biasanya saya lakukan? Ya saya jawab sekenanya,
“doain aja yah!” sambil dalam hati gerundel (baca : membatin). Apalagi kalo pertanyaannya
begini nih,
Di acara arisan keluarga
suami, (karena emang selalu di sini sih ada tamu usil yang nanyain hal begini)
“Ini istrinya hekal yah?”
“Iya bu”
“Gimana anaknya sudah berapa? “
“Belum punya anak bu!” (posisi
saya lagi ngasuh ponakan)
“Udah berapa tahun?”
“3 tahun bu” (saya sangat
berharap, pertanyaan berhenti sampai sini)
“ya ampuun lama juga ya, 3
tahun belom punya anak”
Hmm…ketika itu, hati saya 3 tahun yang lalu, perasaan
saya hancur banget. Sampai saya ingat betul wajah dan ekspresi si ibu ini, padahal ketemunya juga nggak
setahun sekali loh. Segitunya saya karena mungkin saat itu memang saya sedang
tidak siap menghadapi pertanyaan semacam ini. Mungkin kalau percakapannya
berhenti sampai jawaban saya “belum punya anak!” dan beliau stop dengan
mendoakan saya. Saya nggak akan berasa hancur banget. Tapi karena ia malah
membahas lebih lanjut, saya jadi makin nyeri hate. Ini 3 tahun lalu yah,
sekarang sih pas nulis ini, udah ga berasa apa-apa lagi, bahkan sedih pun nggak
sama sekali, karena sudah di hypnotheraphy. Tuh kan? Jangan kira efeknya
ga parah loh, saya baru ilang luka hatinya setelah di hypnotheraphy.
Dari kejadian tersebut, saya jadi mikir, gimana ya perasaan
orang-orang yang nasibnya sama seperti saya? Bagaimana perasaan orang yang
belum menemukan jodohnya dan ditanyain hal-hal “kapan…” seperti itu. Mulai
terbayang deh mungkin mereka nyeri hate juga.
Lantas, gimana dong cara kita menghadapi pertanyaan
semacam itu?
Ini tips dari saya:
1. 1. Siapkan jawaban yang ciamik
dan cantik serta alihkan ke pembicaraan lain atau jika orang yang bertanya
tidak terlalu akrab sebaiknya kita tinggal saja (cari alasan mau melakukan
kegiatan lain, ambil makanan misalnya)
Contohnya begini :
“belum punya anak
nih, doain dong biar cepet terkabul, mungkin doa kamu didengar Allah”
Dengan jawaban
begini, harusnya dia langsung cepet doain, kalau ia masih mencoba mengorek
informasi yang sama, cari alasan aja, ga usah diperpanjang obrolan macam ini. Tidak
ada faedahnya hehe.
2. 2. Pastikan bahwa diri kita yakin
pertanyaan tersebut dilontarkan atas dasar positif bukan dengan maksud
menjatuhkan atau sengaja menyakiti kita. Jadi, ketika kita mulai baper (baca:
bawa perasaan) kita bisa menepis dengan santai.
3. 3. Jika memang keburu nyeri
hate dan dirasa butuh terapi, hubungi hypnotherapist deh sebab
luka-luka kecil macam ini, akan jadi besar kalau didiamkan dan jadi penyakit
(psikosomatis).
Untuk poin nomor tiga, itu memang yang terjadi pada
saya sampai saya merasa harus di theraphy, karena memang keliatannya saya happy
aja, bisa haha-hihi tapi ternyata terlalu banyak tumpukan nyeri hate akibat
pertanyaan “Kapan-kapan…” yang kurang esensial itu. Akibatnya jadi bikin saya
sakit.
Alhamdulillah, Allah kasih saya jalan untuk bisa
bahagia dan tenang bahkan kalem aja sekarang ketika ditanya hal macam itu.
Sekarang di tahun ke 6 dengan proses yang panjang serta sabar yang selalu harus
dilatih terus-terusan.
Semoga, kita semua perempuan yang menginginkan segera
diberi momongan, Allah ijabah dengan hadiah anak sholeh/sholehah yang rupawan. Dan
buat teman yang belum menemukan imamnya, Allah berikan jalan untuk segera
bertemu tambatan hatinya.
Aaamiin…
Cintai dirimu, cintai takdirmu
PS: oya, waktu itu saya terapi di www.abahabror.com boleh coba klik link nya aja jika butuh hypnotherapy, ga cuma soalan macam problem seperti saya loh, problem yang lebih berat juga bisa sembuh dengan ijin Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar